Penelitian Unicef Tentang Pengelolaan Haid

Penelitian Unicef pada tahun 2015 menyebutkan bahwa telah terjadi peningkatan kesadaran akan dampak praktik pengelolaan haid terhadap kesehatan, pendidikan, dan psikososial bagi wanita dan remaja putri di negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Penelitian yang dilakukan Unicef di Asia, Afrika, dan Amerika Latin menjelaskan beberapa tantangan yang dihadapi wanita, seperti akses yang buruk terhadap informasi lengkap tentang menstruasi, kurangnya pengetahuan untuk mengelola darah menstruasi, ketidakcukupan air, sanitasi dan fasilitas yang tidak memadai, keyakinan sosial-budaya yang menyesatkan serta pantangan-pantangan yang dianggap tabu. Hal tersebut berdampak pada pembatasan perilaku, ketidaknyamanan remaja puteri dan risiko kesehatan reproduksi.

Penelitian Unicef Tentang Pengelolaan Haid di Indonesia

Unicef sebagai organisasi internasional dibawah PBB memiliki program kerja, salah satunya adalah Kesehatan dan Gizi, guna meningkatkan kualitas layanan kesehatan dan membantu perawatan dan pengalokasian sumberdaya, terutama untuk anak-anak sebagai generasi penerus. Masyarakat dapat membatu kegiatan tersebut dengan menjadi donatur tetap dengan ada cara berhenti donasi Unicef dengan mudah.

Masa remaja menjadi perhatian khusus Unicef karena norma sosial-budaya dapat menjadi penghalang bagi remaja putri untuk mendapatkan informasi akurat tentang haid dan Manajemen Kebersihan Menstruasi (MKM) saat menstruasi pertama. Menstruasi yang tak terkelola dengan baik dapat menyebabkan putus sekolah, ketidakhadiran, dan masalah kesehatan seksual dan reproduksi lainnya yang memiliki konsekuensi kesehatan dan sosial-ekonomi dalam jangka panjang bagi remaja putri.

Sampai saat ini penelitian tentang MKM, khususnya pada remaja putri di Indonesia masih terbatas. Konsekuensinya, faktor penentu dan dampak MKM bagi remaja putri tidak dipahami dengan baik, dan bukti-dasar akan program dan intervensi untuk meningkatkan MKM masih kurang.

Baca juga: Donasi UNICEF Untuk Peningkatan Gizi Balita

Penelitian Unicef yang dilaksanakan pada 1402 peserta di 16 sekolah di 4 provinsi di Indonesia, menyebutkan bahwa:

1. Ketidakcukupan pengetahuan tentang menstruasi

Ketidakcukupan pengetahuan tentang menstruasi, siklus menstruasi dan MKM berakibat pada kurangnya persiapan pada saat menstruasi pertama, miskonsepsi tentang pembuangan sampah pembalut, dan kurangnya pengetahuan tentang bagaimana mengelola menstruasi dengan aman di sekolah. Sementara itu, ibu, teman, dan guru merupakan sumber informasi utama tentang menstruasi tetapi mereka tidak dapat memberikan informasi yang akurat dan menyeluruh tentang menstruasi.

2. Keyakinan dan kepercayaan bahwa menstruasi itu kotor atau tidak bersih

Keyakinan dan kepercayaan bahwa menstruasi itu kotor atau tidak bersih berdampak pada praktik MKM yang tidak didukung dengan fasilitas air, sanitasi, dan kebersihan di sekolah. Hampir semua remaja putri mengatakan mereka harus mencuci sampah pembalut sebelum dibuang, akan tetapi sebagian besar sekolah tidak menyediakan air yang cukup atau tempat tersendiri untuk praktik MKM tersebut.

Terlebih lagi, hanya sedikit sekolah yang menyediakan tempat sampah untuk membuang pembalut di dalam toilet, dan remaja putri merasa malu saat membuang sampah pembalut. Keyakinan akan bahaya membakar sampah pembalut membuat remaja putri enggan untuk mengganti atau membuang sampah pembalut di sekolah.

3. Ketidakcukupan air, fasilitas sanitasi, dan kebersihan di sekolah

Ketidakcukupan air, fasilitas sanitasi, dan kebersihan di sekolah juga menjadi tantangan bagi remaja putri yang sedang menstruasi. Selain ketidakcukupan air untuk mencuci, toilet yang kecil dan tidak bersih serta kurangnya privasi menyebabkan remaja putri enggan untuk mengganti pembalut di sekolah.

Hampir semua fasilitas air, sanitasi dan kebersihan di sekolah tidak dapat diakses oleh siswa berkebutuhan khusus (cacat). Akibatnya, remaja putri terpaksa pulang kerumah untuk mengganti pembalut atau memakai kain selama lebih dari delapan jam dan itu dapat membuat alat kelamin iritasi dan gatal, juga mereka takut ‘bocor’ serta menodai pakaian.

4. Ketakutan akan ‘bocor’ menyebabkan partisipasi di sekolah dan kegiatan sosial menurun. 

Ketakutan akan ‘bocor’ menyebabkan partisipasi di sekolah dan kegiatan sosial menurun. Sakit dan gejala menstruasi lain seperti lemas, lesu, dan pusing juga menyebabkan partisipasi di sekolah menurun. Satu dari tujuh remaja putri tidak masuk ke sekolah satu hari atau lebih saat menstruasi (Unicef, 2015).

Selain takut akan noda atau ‘bocor’, penyebab utama mereka tidak berangkat adalah sakit dan merasa tidak sehat. Pada umumnya, remaja putri, ibu, dan guru salah paham pada keamanan pengobatan, berarti banyak remaja putri yang tidak mampu mengatasi gejala tersebut di sekolah.

Selain mengurangi tingkat partisipasi, praktik tantangan yang dihadapi oleh remaja putri di sekolah saat ini adalah risiko kesehatan terkait infeksi, rasa tidak nyaman remaja putri, iritasi, dan gatal pada kemaluan jika menggunakan pembalut dalam waktu yang lama. Selain itu, larangan makanan juga dapat meningkatkan risiko kurang gizi.

Program penggalangan donasi Unicef merupakan sebuah ajakan untuk peduli kepada warga lain yang kurang beruntung. Caranya, menyumbang uang berapa pun nilainya tidak hanya sekali saja, akan tetapi kapan saja sehingga kegiatan memberi dapat menjadi budaya. Unicef juga membuka layanan donasi online untuk donatur rutin yang disertai cara berhenti donasi Unicef, serta donasi sekali melalui website resmi Unicef yaitu https://www.supportunicefindonesia.org

 

Lentera Sehat

Pemerhati kesehatan yang suka berbagi artikel kesehatan berdasarkan sumber referensi yang dapat dipercaya.

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *